Invalid Date
Dilihat 0 kali
Di pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya di Desa Janggi, Kecamatan Karau Kuala, terdapat sebuah pulau yang dianggap mistis dan sakral oleh warga setempat. Pulau ini menyimpan kisah legendaris yang diwariskan dari generasi ke generasi, dikenal sebagai Legenda Tumpok Watu.
Menurut cerita turun-temurun, Tumpok Watu berasal dari bahasa Dayak Maayan, di mana "Tumpok" berarti kampung dan "Watu" berarti batu. Maka, Tumpok Watu bermakna Kampung Batu. Konon, kampung ini pada zaman dahulu merupakan bagian dari sebuah kerajaan Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan.
Dahulu, hiduplah sekelompok masyarakat yang menetap di kampung ini. Kampung tersebut menjadi pusat kehidupan kerajaan Dayak. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah kisah cinta tragis antara seorang pemuda tampan bernama Daweh dan seorang putri cantik dari kerajaan tersebut, Bawaie.
Daweh adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, dan Bawaie adalah putri dari Paduka Raja yang sangat dihormati. Kisah cinta mereka menjadi sorotan, dan Raja pun merestui hubungan tersebut. Namun, di balik kebahagiaan mereka, ada seorang saudara sepupu Daweh yang diam-diam mencintai Bawaie dan iri terhadap hubungan mereka.
Saudara sepupu Daweh, yang berhati jahat, merencanakan siasat untuk menghalangi pernikahan Daweh dan Bawaie. Ia membujuk Daweh untuk pergi bersamanya ke hutan mencari madu lebah. Tanpa curiga, Daweh mengikuti ajakan sepupunya, dan mereka berdua berangkat menuju sebuah hutan yang terkenal angker dan bayak binatang buas.
Saat Daweh sudah berada di puncak pohon besar untuk mengambil madu, saudara sepupunya yang jahat turun sambil memutuskan tali dan lantak tangga yang digunakan Daweh untuk turun, lalu meninggalkan Daweh sendirian di atas pohon. Ia kembali ke kampung dan mengatakan bahwa Daweh hilang di hutan.
Upaya pencarian dilakukan namun sangat di sayangkan pencarian tersebut tidak berhasil karna lelaki jahat membawa orang mencari bukan pada tempat mereka melakukan sarang lebah dan sehingga daweh di anggap mati.
Daweh pun merasa bersedih di atas pohon merasa bersedih karna hari besok akan di lakukan perkawinan dirinya dengan bawaie sedangkan dirinya tidak bisa tutun dan polang ke sebuah kampung tersebut.
Tidak berselang lama terdengarlah sesusuk suara gaib dari hutan belantara tersebut menyapa daweh dan menceritakan bahwa putri yang dia cintai akan menikah dan kawin dengan saudara sepupunya.
Di atas pohon sarang lebah madu yang tinggi dan menjulang, lelaki tampan, Daweh, meratapi nasibnya. Hari esok adalah hari yang sangat dinantikannya—hari pernikahannya dengan Bawaie putri raja yang cantik. Namun, semua kebahagiaan dan impian yang telah direncanakannya dengan matang seakan musnah begitu saja. Perasaan sedih dan putus asa menguasai dirinya, sementara dia terjebak di ketinggian pohon, jauh dari keramaian pesta pernikahan yang direncanakan.
Dalam keputusasaannya, terdengarlah suara aneh yang memanggil namanya dari dalam hutan. Suara itu datang dari makhluk gaib berupa seekor beruang putih yang berasal dari hutan belantara. Makhluk gaib ini menampakkan diri di hadapan Daweh, dan dengan lembut memberitahukan peristiwa yang terjadi di kampungnya. Beruang putih itu mengungkapkan bahwa semua ini adalah bagian dari rencana jahat sepupu Daweh yang ingin merusak pernikahannya dan menggantikan posisinya.
Mendengar penjelasan tersebut, Daweh merasa lega sekaligus marah. Ia akhirnya menyadari bahwa rencana sepupunya yang jahat telah mengakibatkan kehancuran impiannya dan pernikahan yang sangat diidam-idamkannya. Dengan harapan yang baru, Daweh meminta pertolongan kepada makhluk beruang putih tersebut untuk membantunya turun dari pohon dan mencegah kebohongan yang telah terjadi.
Sementara itu, di kampung, pesta pernikahan berlangsung dengan meriah. Masyarakat dan para tamu ikut menari dan merayakan kebahagiaan yang seolah menjadi simbol dari sebuah perayaan yang penuh dengan keceriaan. Namun, di balik kemeriahan itu, Daweh yang kini diberi bantuan oleh beruang putih, bertekad untuk memperbaiki segala kesalahan dan membuktikan kebenaran yang telah direncanakan oleh sepupunya yang jahat.
Daweh pun hadir di pesta itu menari telanjang dengan memukulkan tempat tampian beras ( Nyiru) dan ekor buntut biawak sebagai ritual dari perjanjian dengan beruang dan tak satu orang mengenal daweh karna badan nya di hitamkan sengan harang sehingga semua orang merasa heran dengan penari tersebut adalah seorang daweh yang tak satu orang orang mengenalinnya.
Di tengah kebisingan dan keceriaan pesta pernikahan Bawaie dan Lelaki Jahat itu duduk di atas Gong yang di kelilingi penari dan warga di kampung itu, Daweh masih merasakan kepedihan mendalam. Namun, sebuah kejadian misterius di luar kampung menjadi bagian penting dari kisahnya.
Pada suatu hari, seorang lelaki yang membawa hasil sadapan aren dari perkebunan, bertemu dengan seorang tua yang tidak dikenal. Lelaki tua itu, dengan wajah penuh butir yang aneh, meminta minuman kepada pemuda tersebut. Meskipun tidak mengenal lelaki tua itu, pemuda tersebut merasa iba dan menawarkan segelas air aren yang ia bawa.
Sebelum memberikan air aren tersebut, pemuda itu bertanya tentang kehadiran lelaki tua yang misterius itu. Dengan suara parau, lelaki tua itu mengungkapkan bahwa ia baru saja membakar dan membalik sebuah kampung di sebelah, dan kini dalam perjalanan pulang, ia merasa kehausan. Mendengar cerita tersebut, pemuda itu merasa curiga, namun tetap memberikan air aren.
Lelaki tua itu meminta agar air aren dituangkan langsung ke mulutnya. Pemuda tersebut, masih merasa ragu, menuangkan air aren dari tempat penampungan bambu lamiang ke mulut lelaki tua. Namun, tiba-tiba, dengan gerakan cepat, lelaki tua itu mengeluarkan bambu lamiang yang menancap di mulutnya dan menusuk pemuda itu dengan bambu tersebut.
Ternyata, lelaki tua yang aneh tersebut adalah hantu atau nyaru butir, makhluk gaib yang dikenal karena kejahatannya. Dalam sekejap, pemuda itu menyadari bahwa lelaki tua itu bukanlah sosok biasa, melainkan bagian dari rencana jahat untuk menghalangi kebangkitan kebenaran dan keadilan.
Tepat saat pesta pernikahan akan dimulai, kampung tersebut tiba-tiba terbalik dan berubah menjadi batu. Seluruh penduduk kampung, termasuk saudara sepupu Daweh yang jahat, terkubur bersama kampung tersebut. Hanya Daweh dan bawie yang selamat, tetapi mereka menghilang bersama beruang putih itu.
Sejak saat itu, tempat tersebut dikenal sebagai Tumpok Watu atau Kampung Batu. Penduduk setempat percaya bahwa tempat itu mengandung kesakralan dan sejarah mistis yang mengingatkan mereka akan pentingnya kejujuran dan ketulusan dalam hidup.
Hingga kini, legenda Tumpok Watu terus diceritakan sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat Dayak di Desa Janggi. Meskipun cerita ini memiliki berbagai versi, esensinya tetap sama: sebuah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan kutukan yang berakhir tragis.
Cerita ini disusun dari berbagai sumber, dan meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa detail, hal itu menambah kekayaan dari legenda ini. Semoga kisah ini dapat terus hidup dan dikenang oleh generasi selanjutnya.
Bagikan:
Desa Janggi
Kecamatan Karau Kuala
Kabupaten Barito Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah
© 2025 Powered by PT Digital Desa Indonesia
Pengaduan
0
Kunjungan
Hari Ini